Kamis, 17 September 2020

 

WILI

 

“Kenapa gak kamu aja yang jawab?” tanyaku saat kelas sepi, saat sebagian anak ke kantin untuk waktu istirahat.

“Maksudnya?” jawabnya singkat dan cukup jelas terdengar karena hanya kami berdua di lorong kursi kami.

“Pak Iwan senang sekali sama Ari karena dia bisa jawab semua pertanyaan quiz tadi, padahal semua jawaban itu dari kamu kan, wil?” tanyaku dengan goda sedikit memaksa.

Tak ada jawaban, Ia hanya mengangkat kedua bahunya setelah terdiam sedetik. Lalu pergi.

Cerita ini tentang dia. Anak lelaki yang duduk di kursi paling kiri baris keempat. Tepat berhadapan dengan meja guru. Lorong itu memang khusus untuk siswa lelaki di kelasku. Duduk semeja dengan temannya Ari yang duduk tepat di depanku.

Setauku hanya Ari dan Aku yang benar-benar tahu kalau Wili anak yang pintar. Selebihnya teman kelas kami juga tahu jika kebetulan menjadi teman kelompok diskusi saat diminta guru. Sebagian lain tidak menyadari kepintarannya. Kalau boleh ku bilang malah tidak perduli.

Rumah kami berseberangan, Dia pun jarang terlihat untuk keluar rumahnya untuk bermain. Saat Ia keluar rumah, aku bisa menebak tujuannya, Warung Wak Ning. Wili pergi untuk sekedar berbelanja telur, garam atau kebutuhan kecil yang kebetulan sedang habis di rumahnya.

Sempat aku bertanya pada Bunda, “Bun, kenapa Wili jarang keluar rumah, di sekolah juga sering diam, padahal aku tahu dia pintar loh, Bu?”

“Karakter anak kan beda-beda, Sony. Kalau semua anak karakternya kayak kamu, bisa susah para orangtua karena selalu ditanya ini-itu sama anaknya.” Jawab Ibu sambil senyum lirik menggodaku.

Sebagian jiwaku menerima jawaban Ibu, sebagian lagi bertanya dalam hati, “Apa salahnya jadi anak yang suka bertanya? Percuma dong. Bunda kan Psikologs, masa’ sih gak tahu” pikir polosku yang masih kelas 7 ini.

Tentu ia tidak selalu begitu, Wili senang bermain sepak bola di lapangan sekolah saat jam istirahat tiba. Posisi favoritnya adalah bek kiri, terkadang Ia maju ke depan untuk sekedar membantu menyerang, namun lebih sering bertahan seolah Ia lebih stakut gawang timnya kebobolan dibandingkan temannya mencetak gol ke gawang lawan. Tak selalu ia ikut bermain, hanya jika tim kekurangan pemain ataupun menggantikan temannya yang kelelahan.

Bukan. Bukan karena Wili tidak jago bermain bola, hanya saja tentu seorang teman lebih senang mengajak teman dekatnya untuk bermain bersama. Wili bukanlah ‘teman dekat’ bagi semua siswa di sana. Dia hanya anak yang kurang mencolok, Dia seolah nyaman dengan itu.

Sungguh Wili anak yang jago di belakang layar. Tugas apapun bisa diselesaikan dengan baik, bahkan tugas berkelompok dia bisa selesaikan sendiri. Sering malah itu permintaan dia pada teman kelompoknya. Perjanjiannnya adalah Wili mengerjakan seluruh tugas kelompok seorang diri tapi untuk peresentasi harus dibawakan anggota kelompok yang lain. Sungguh peraturan yang menyenangkan bagi teman kelompoknya karena tidak perlu repot untuk diskusi kelompok ataupun berbagi tugas. Termasuk Aku.

Begitu pun, tak selalu semua sesuai ‘peraturan’nya itu. Wili pernah pula harus berbicara di depan kelas atau sekedar menulis jawaban Matematika di papan tulis saat dipinta guru. Sambil menutup matapun seluruh siswa kelas 7B akan tahu bahwa yang sedang berbicara di depan kelas itu Wili, rentetan kata yang keluar dari mulutnya bersamaan getaran grogi bak menghilangkan setengah napasnya. Terengah Dia.

Aneh sekali kawan ini pikirku. Selidikku berlanjut kepada Ari. Mungkin Ia tahu lebih banyak tentang Wili. Logikaku seperti biasa bekerja.

“Ri, kawanmu itu kok aneh sih?”

“Siapa?”

“Wili. Dia kan teman semejamu. Pasti kamu kenal dia lebih.” Entah itu pertanyaan biasa atau agak memaksa mungkin.

Ari terdiam beberapa detik setelah pertanyaan itu didengarnya. Bingung.

“Emang dia aneh kenapa?”

“Anehlah. Kau kan teman semejanya. Kok, gak merasa DIa aneh?” Sedikit kesal di pertanyaan lanjutanku.

“Kebetulan aja kami satu meja. Kita kan siswa baru semua awalnya. Lagian Dia biasa aja. Malahan aku senang nilaiku bagus karena duduk sama Dia, sering dapat bisikan Kunci Jawaban.” Senyum girang tampak saat mengucapkan lima kata terakhirnya.

“Justru karena itu. Kamu enak dianggap pinter sama guru.”

“Wili aja gak pernah marah kok. Kamu yang aneh, Son. Tapi iya juga ya Si Wili aneh. Eh, entahlah.”

Waktu berjalan dengan pola yang sama di kelas kami. Penasaranku tetap sama tentang Wili. Aku akan bertanya lagi.

“Bro, kamu kok gak mau baca pidatomu itu di depan?” membuka percakapan. Sedapatnya karena sedang ada sesi pembuatan dan pembacaan pidato di kelas Bahasa Indonesia bersama Bu Farida. Gilang sedang membacakan piatonya di depan kelas menirukan Soekarno dengan improvisasi dengan beberapa kali cengengesan.

“Gak mau aja. Kamu pikir kenapa waktu Presiden pidato sambil baca teks. Kamu pikir Presiden sendiri yang nulis. Untuk apa ditulisnya kalau dia tahu harus bicara apa. Pasti orang lain yang tulis.” Gaya menjawab Wili yang jarang sekali to the point.

“Gilang cocok jadi Presiden. Aku cocoknya jadi penulis teks pidatonya. Kamu ya terserah mau jadi apa. Jadi microphone-nya pun gapapa.” Wili menjawab dengan sedikit bumbu senyum di akhir kalimatnya.

“Haha…”

“Sony… Wili… dengarkan teman kalian berpidato ya!” Suara Bu Farida mengakhiri percakapan yang entah keberapa kali tak memuaskanku itu.

Minggu pagi itu aku memilih duduk di teras depan rumahku menghadap rumah Wili di ujung pandangan. Ditemani segelas teh manis panas buatan Ibu di atas meja dan kursi kosong di sebelahnya.

“Kamu mikirin apa?” entah kapan kursi kosong itu ditempati Bunda bersama gelas teh manis panasnya yang sejengkal dari punyaku.

“Wili, Bun. Aneh.”

“Haha, masih mikirin itu kamu ya. Fix kamu harus kuliah Psikologi seperti Bunda ya. Kamu persis seperti Bunda dulu. begitu peduli dengan orang lain.”

“Sony bahas tentang Wili loh, Bunda. Bukan tentang Sony yang mirip Bunda apalagi kuliah, SMP aja baru satu semester.” Jawabku kesal.

“Kamu beneran mau tahu?”

Aku mengangguk serius.

“Entar ya, Ayah lagi goreng tahu tu buat sarapan kita.” Kalimat selanjutnya yang berhasil meningkatkan level kesalku.

Begitulah cara keluarga kami berkomunikasi, saling lempar kelakar walau terkadang receh. Apalagi kalau giliran Ayah. Kami biasa mengomentarinya dengan berkata, ‘Jokes Bapak-bapak’. Itu cara kami mendekatkan satu sama lain.

“Ingat gak Kamu, Ayah dan Bunda selalu ingatkan Kamu dan Dek Ara untuk selalu bersyukur. Satu hal paling besar yang kalian harus syukuri adalah keluarga.”

“Apa hubungannya dengan sikap anehnya si Wili?” tanyaku.

“Kamu pernah dengar cerita katak yang ditutup dalam wadah selama seharian. Terus katak itu melompat mencoba keluar hingga akhirnya sang katak menyerah karena tahu dia tidak akan melewati wadah tersebut.”

Aku mendengarkan serius seirama dengan uap panas dari tehku yang semakin turun suhunya.

“Keesokan harinya wadah itupun dibuka namun Katak tetap saja enggan untuk melompat. Pikirannya sudah terpaku bahwa selalu ada dinding penghalang yang tak membiarkannya melompat jauh. Begitulah Wili.”

Aku tertarik dengan cerita Bunda walaupun masih belum paham maksudnya. Tehku mulai ku seruput perlahan.

“Wili dan Kakaknya dibesarkan dengan suasana yang tertutup, mereka sering disalahkan walau hanya karena tak sengaja menumpahkan minum, selalu dikunci dengan kutukan ‘kata Ibu’ atau ‘kata Ayah’ mereka.”

“Bunda kok tahu?” Aku tak begitu saja percaya kepada Bunda yang baru beberapa saat lalu mengocehku dengan kata ‘tahu’

“Bunda dan Ibunya Wili kan berteman sejak lama. Kamu aja yang kebetulan satu sekolah dengan Wili baru sekarang.”

“Emangnya kalau gitu bisa buat orang jadi aneh ya Bun?”

“Aneh yang kamu maksud apa coba?” Bunda memastikan.

“Wili pintar tapi penakut.” Simpulku singkat tentang arti aneh yang kumaksud.

“Nah, itu dia. Wili sudah seperti katak yang Bunda ceritakan tadi. Sudah ada benteng yang menghalanginya bebas melompat.”

“Tidak Cuma itu, sejak lama orantua mereka sering bertengkar. Hingga akhirnya semenjak akhir tahun lalu Ayah dan Ibunya berpisah. Bunda kasihan sama mereka. Mereka anak-anak yang manis namun kurang beruntung.” Raut wajah Bunda memudar di sepenggal akhir ceritanya.

“Sosial media Ibunya jadinya sering tentang sekedar curhat atau bahkan sumpah serapah tentang kehidupannya.”

Bunda menyadari raut wajahku yang tak habis pikir dengan ceritanya.

“Tapi kamu jangan berfikir berlebihan. Bunda hanya menceritakan bagian yang menyebabkan teman kamu itu menjadi ‘aneh’ seperti yang kamu bilang. Selebihnya keluarga mereka tetap seperti keluarga yang lain. Bunda yakin tetap ada cinta diantara mereka, hanya saja bentuk pengungkapannya berbeda dengan gaya keluarga kita yang suka ngelawak ini.” Bunda kembali berkelakar setelah yakin Aku bisa mengambil pelajaran dari cerita itu. Tak membiarkan anaknya larut dalam sedih milik orang lain. Bunda memang psikolog yang hebat.

“Terima kasih ya Bun. Sony akan jadi teman yang labih memahami Wili. Dan Sony bersyukur diberikan Tuhan keluarga yang menyenangkan walaupun Ayah suka kasih ‘Jokes Bapak-bapak’.” Simpulku.

“Kamu bilangin Ayah gak lucu, ya? Ayok Bun kita sarapan tahunya, Kamu jangan ikutan kalau gitu Sony!” dari balik pintu suara Ayah memecah percakapan serius kami.

Tawa kami pun lepas mendengar itu. Entah bagian manaya yang lucu, tapi kami bahagia. Terima kasih Tuhan.